CSE

Loading

Kamis, 16 Mei 2013

Pengertian HIV AIDS

AIDS singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome merupakan kumpulan dari gejala dan infeksi atau biasa disebut sindrom yang diakibatkan oleh kerusakan sistem kekebalan tubuh manusia karena virus HIV, sementara HIV singkatan dari Human Immunodeficiency Virus merupakan virus yang dapat melemahkan kekebalan tubuh pada manusia. Jika seseorang terkena virus semacam ini akan mudah terserang infeksi oportunistik atau mudah terkena tumor. Untuk sampai saat ini, penyakit HIV AIDS belum bisa disembuhkan dan ditemukan obatnya, kalau pun ada itu hanya menghentikan atau memperlambat perkembangan virusnya saja.

Virus HIV dan virus-virus sejenisnya seperti  SIV, FIV dan lain-lain biasanya tertular melalui kontak langsung antara aliran darah dengan cairan tubuh yang didalamnya terkandung HIV, yakni darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal, dan air susu ibu. Penularan virus ini sering terjadi pada saat seseorang berhubungan intim, jarum suntik yang terkontaminasi, transfusi darah, ibu yang sedang menyusui, dan berbagai macam bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut.



AIDS merupakan bentuk terparah atas akibat infeksi HIV. HIV adalah retrovirus yang biasanya menyerang organ-organ vital sistem kekebalan manusia, seperti sel T CD4+ (sejenis sel T), makrofaga, dan sel dendritik. HIV merusak sel T CD4+ secara langsung dan tidak langsung, padahal sel T CD4+ dibutuhkan agar sistem kekebalan tubuh dapat berfungsi baik. Bila HIV telah membunuh sel T CD4+ hingga jumlahnya menyusut hingga kurang dari 200 per mikroliter darah, maka kekebalan di tingkat sel akan hilang, dan akibatnya ialah kondisi yang disebut AIDS. Infeksi akut HIV akan berlanjut menjadi infeksi laten klinis, kemudian timbul gejala infeksi HIV awal, dan akhirnya AIDS; yang diidentifikasi dengan memeriksa jumlah sel T CD4+ di dalam darah serta adanya infeksi tertentu.

Tanpa terapi antiretrovirus, rata-rata lamanya perkembangan infeksi HIV menjadi AIDS ialah sembilan sampai sepuluh tahun, dan rata-rata waktu hidup setelah mengalami AIDS hanya sekitar 9,2 bulan. Namun demikian, laju perkembangan penyakit ini pada setiap orang sangat bervariasi, yaitu dari dua minggu sampai 20 tahun. Banyak faktor yang mempengaruhinya, diantaranya ialah kekuatan tubuh untuk bertahan melawan HIV (seperti fungsi kekebalan tubuh) dari orang yang terinfeksi.Orang tua umumnya memiliki kekebalan yang lebih lemah daripada orang yang lebih muda, sehingga lebih berisiko mengalami perkembangan penyakit yang pesat. Akses yang kurang terhadap perawatan kesehatan dan adanya infeksi lainnya seperti tuberkulosis, juga dapat mempercepat perkembangan penyakit ini. Warisan genetik orang yang terinfeksi juga memainkan peran penting. Sejumlah orang kebal secara alami terhadap beberapa varian HIV. HIV memiliki beberapa variasi genetik dan berbagai bentuk yang berbeda, yang akan menyebabkan laju perkembangan penyakit klinis yang berbeda-beda pula. Terapi antiretrovirus yang sangat aktif akan dapat memperpanjang rata-rata waktu berkembangannya AIDS, serta rata-rata waktu kemampuan penderita bertahan hidup.

Selasa, 14 Mei 2013

Twin pregnancy: the impact of the Higgins Nutrition Intervention Program on maternal and neonatal outComes1


 Twin pregnancy: the impact of the Higgins Nutrition Intervention Program on maternal and neonatal outComes1
Sheila Dubois, Cynthia Dougherty, Marie-Paule Duquette,
James A Hanley, and Jean-Marie Moutquin
ABSTRACT Perinatal outcomes were compared between
354 twins treated with the Higgins Nutrition Intervention Program and 686 untreated twins. After differing distributions of
key confounding variables were adjusted for, the twins in the
intervention group weighed an average of 80 g more (P < 0.06)
than the nonintervention twins; their low-birth-weight rate was
25% lower (P < 0.05) and their very-low-birth-weight rate was
almost 50% lower (P < 0.05). Although the rate of preterm delivery was 30% lower in the intervention group (P < 0.05), the
rates of intrauterine growth retardation were similar in the two
groups. Fetal mortality was slightly higher (14 vs 12 per 1000,
NS), but early neonatal mortality was fivefold lower (3 vs 19
per 1000, P < 0.06) in the intervention group. Maternal morbidity was significantly lower (P < 0.05) in the intervention
group. There was a trend towards lower infant morbidity in the
intervention group. These results suggest that nutritional intervention can significantly improve twin-pregnancy outcome. Am J C/in Nuir 199 1;53: 1 397- 1403.
KEY WORDS Twin pregnancy, nutrition  intervention,
birth weight, morbidity, mortality

Prevention of twin pregnancy after in-vitro fertilization or intracytoplasmic sperm injection based on strict embryo criteria: a prospective randomized clinical trial
+Author Affiliations Fertility Clinic, Department of Obstetrics–Gynaecology–Fertility, Middelheim Hospital, Lindendreef 1, 2020, Antwerp, Belgium
  • Received May 4, 1999.
  • Accepted July 14, 1999.
A prospective randomized study comparing single embryo transfer with double embryo transfer after in-vitro fertilization or intracytoplasmic sperm injection (IVF/ICSI) was carried out. First, top quality embryo characteristics were delineated by retrospectively analysing embryos resulting in ongoing twins after double embryo transfer. A top quality embryo was characterized by the presence of 4 or 5 blastomeres at day 2 and at least 7 blastomeres on day 3 after insemination, the absence of multinucleated blastomeres and <20% cellular fragments on day 2 and day 3 after fertilization. Using these criteria, a prospective study was conducted in women <34 years of age, who started their first IVF/ICSI cycle. Of 194 eligible patients, 110 agreed to participate of whom 53 produced at least two top quality embryos and were prospectively randomized. In all, 26 single embryo transfers resulted in 17 conceptions, 14 clinical and 10 ongoing pregnancies [implantation rate (IR) = 42.3%; ongoing pregnancy rate (OPR) = 38.5%] with one monozygotic twin; 27 double embryo transfers resulted in 20 ongoing conceptions with six (30%) twins (IR = 48.1%; OPR = 74%). We conclude that by using single embryo transfer and strict embryo criteria, an OPR similar to that in normal fertile couples can be achieved after IVF/ICSI, while limiting the dizygotic twin pregnancy rate to its natural incidence of <1% of all ongoing pregnancie

Nutritional Status of Rural Pregnant Women


Nutritional Status of Rural Pregnant Women

L.H. Madhavi, H.K.G. Singh
Department of Community Medicine, *Department of Pediatrics, Khaja Banda Nawaz Institute of Medical Science,
Gulbarga-585105 (Karnataka)
Abstract:
Pregnancy is a crucial period of woman’s life where socio-demographic factors affect her health as well as
determine the health of future generation. A cross-sectional community based study was conducted in pregnant women in
the field practice area of RCHTC, Hebbal. Variables considered for the study were: Age, religion, Socio-economics status,
type of family & house, parity, spacing methods, utilization of health services, height, weight and Body Mass Index (BMI).
Majority of pregnant woman had inadequate protien & calorie consumption during pregnancy; 23.93%, woman were
having BMI<18.5; 66.67%, were anemic (Hb<11 gm%). The overall prevalence of anemia was found to be high among
illiterate (98.2%), Hindu (92.31%) and moderately working woman (83.34% ). Anemia was found to be more common whose
age at first pregnancy was <20 years (57.28%), age at marriage <20 years (87.17%), in IInd trimester of pregnancy
(62.83% ) and in age group of 20-24 years (39.14%). Government hospital services were utilized by 78.63% but only 58.97%
received iron & folic acid tablets and 70.94% had taken injection Tetanus Toxoid (TT).
Hence, effective intervention should be directed towards young pregnant women <20 years of age to improve
maternal nutritional status, literacy level, and health education for utilization of health services.
Key Words: Maternal nutritional status; Body mass idex; Hemoglobin percentage.

FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH PADA PENYEMBUHAN LUKA PERINEUM IBU PASCA PERSALINAN DI PUSKESMAS BRANGSONG DAN KALIWUNGU KABUPATEN KENDAL



FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH
PADA PENYEMBUHAN LUKA PERINEUM IBU
PASCA PERSALINAN DI PUSKESMAS BRANGSONG DAN KALIWUNGU
KABUPATEN KENDAL


Sri Rejeki, Ernawati
Faklutas Ilmu Keperawatan dan Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Semarang
ABSTRAK
Latar belakang: Banyak perempuan mengalami robekan perineum pada saat melahirkan baik pada
primipara maupun persalinan lanjut. Luka pada perineum terjadi bisa akibat tindakan episiotomi atau
robek spontan. Luka episiotomi atau luka spontan yang telah dijahit umumnya dapat sembuh perprimam,
kecuali bila terdapat infeksi, ada yang sembuh normal dan ada yang mengalami kelambatan dalam
penyembuhannya. Tujuan: Penelitiannya ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh
pada penyembuhan luka perineum ibu pasca persalinan. Metode: Jenis penelitian deskriptif eksploratif.
Sebanyak 53 ibu pasca persalinan berpartisipasi dalam penelitian ini. Cara pengambilan sampel adalah
dengan Consekutif yaitu berdasarkan danya pasca persalinan dengan robekan perineum dari bulan
Oktober dan Nopember 2009 di Puskesma Brangsong dan Kaliwungu Kendal. Tehnik pengambilan data
dengan cara Survey melalui Kuesioner dan observasi penyembuhan luka dengan tolok ukur terdapatnya
tanda REEDA pada luka perineum ibu pasca persalinan. Hasil: Didapatkan tidak ada hubungan yang
signivikan faktor umur, penyakit yang didertia, status onstetri, kondisi luka jahitan, lingkar lengan atas,
besar luka jenis luka dan lama hari rawat dengan penyembuhan luka perineum. Tetapi terdapat hubungan
yang signifikan antara nilai kadar Hb ibu pasca persalinan dengan penyembuhan luka perineum (Pv:
0,000).
.
Kata kunci : Penyembuhan luka, umur, riwayat penyakit, status obstetri, status gizi, jenis robekan,
kond

Health promotion in pregnancy: the role of the midwife



Health promotion in pregnancy: the role of the midwife

1.    Annemarie Beldon, RGN, RM, BSc(Hons)
1.    North Tyneside General Hospital, Rake Lane, North Shields NE29 8NH, England Tel: +44 (0)191 293 2545
1.    Suzanne Crozier, RGN, RM, MSc
1.    University of Northumbria at Newcastle, Coach Lane Campus NE7 7XA, England Tel: +44 (0)191 2156119 suzanne.crozier@unn.ac.uk

Abstract

Health promotion is of particular importance to midwives who promote health rather than manage disease and ill health. Although the midwife has always had a role in public health, there is now an explicit need for the profession to direct its attention to teenage pregnancy, smoking cessation, drug awareness and domestic violence. Much of the role of the midwife during pregnancy is in health promotion and a more explicit application of such may carry benefits in meeting Government policy on public health.
Some activities undertaken by midwives may not be identified as health promotion, though there is evidence that the interaction generated by routine examinations is of benefit to the motherís health. Midwives should work in partnership with women and families, facilitating decisions about the care that they feel they may require. Social disadvantage may impede participation where formal education was not valued or ethnic background or language impaired access to traditional childbirth education. Tackling this is at the heart of current public health policy around childbirth and child care.
Education can take place during any interaction and this gives midwives huge scope to provide an educational experience for women each time they meet. For the pregnant teenager the extended family may need to be included in health promotion activities particularly if breastfeeding targets are to be met. A united health and education policy to inform and educate children and teenagers about the benefits of pre-conceptional care and breastfeeding may be needed. In this way young women come into contact with midwives before they are pregnant, before attitudes to breastfeeding are established and before the concept of pre-conceptional care is lost. Although breastfeeding improves health for women and their infants it can become another burden and expectation which they fail to achieve. Professionals need to be sensitive to the possible negative impact on a womanís health, which could be reduced if the emphasis was moved from individual behaviour change to the inequalities within society.
Midwives should seek to respond positively to service changes to achieve the goal of multidisciplinary, non-hierarchical patient-centred services. In facilitating change midwives seek to use their influence to the benefit of the pregnant woman.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16220735http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16220735

Senin, 13 Mei 2013

terjemahan jurnal :Effects of a very low birth weight newborn on family: literature review


Diskusi
Kami menemukan sebuah studi Kaplan & Mason32 diterbitkan dalam
1960 yang menggambarkan kelahiran bayi prematur sebagai
krisis emosional akut bagi ibu, namun penilaian ini
dibatasi untuk ibu dari bayi prematur.
Kemudian, penelitian lain menunjukkan beberapa kekhawatiran
dengan cara ibu merasa infants33 dini mereka,
serta orang tua dan anak-anak suffering34.
Di masa lalu, studi banding pertama kali diidentifikasi
Reaksi ibu dianalisis 'untuk bayi prematur dengan
metodologi yang berbeda (titik cutoff yang berbeda tentang
berat lahir dan waktu yang berbeda untuk pengumpulan data).
Smith et al.35 dinilai 35 ibu pra-syarat
(Berat lahir antara 1.400 dan 2.500 g) dan 35 ibu
bayi penuh panjang (berat lahir yang lebih tinggi daripada
2.500 g) dari sudut pandang kejiwaan, dan hasil
menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok
minggu pertama setelah melahirkan. Namun demikian, di Choi36
1970 dibandingkan 20 ibu dari pre-istilah untuk 20 ibu
bayi penuh panjang, juga pada minggu pertama postpartum
dan menemukan tingkat lebih tinggi depresi
dan kecemasan pada ibu bayi prematur.
Respons emosional orang tua 'setelah minggu pertama
postpartum awalnya dipelajari oleh Jeffcoate et al.37
yang mengadopsi cutoff poin yang tidak biasa untuk berat kelahiran
bayi yang baru lahir. Mereka mewawancarai 17 keluarga prematur
bayi (berat lahir antara 1.200 dan 2.100 g) dan
17 keluarga dari bayi penuh panjang (berat lahir lebih
dari 2.500 g) antara anak-anak mereka 6 sampai bulan ke-20
kehidupan. Meskipun studi ini telah menunjukkan bahwa prematur yang
kelahiran bayi yang diproduksi gangguan emosional,
lampiran ibu tertunda atau tidak memadai dan tidak semestinya
masalah dalam merawat bayi di rumah untuk kedua
orang tua dibandingkan dengan kelahiran normal, nomor secara signifikan
lebih tinggi dari emosi negatif pada ibu yang
ditemukan bila dibandingkan dengan ayah dari kelompok yang sama.
Di sisi lain, Trause & Kramer38 pada tahun 1980 mempelajari
38 dari 19 orang tua bayi prematur berisiko rendah dan 28
orang tua dari 14 bayi cukup bulan yang sehat, dan menemukan bahwa orang tua
bayi penuh panjang bereksperimen signifikan
lebih depresi dan gangguan emosional dari orang tua
bayi prematur pada 1 bulan setelah melahirkan. Namun,
Scheiner et al.39 pada tahun 1985, tidak menemukan perbedaan
di tingkat depresi dari 17 ibu-ibu full-syarat dan
17 ibu yang memiliki bayi prematur ketika anak-anak mereka
berusia 12 sampai 18 bulan.
Keprihatinan peneliti utama 'di atas disebutkan
adalah memahami dampak lahirnya prematur
bayi pada orang tua mereka dan apakah mereka siap
untuk menerima bayi ini dalam lingkungan keluarga.
Namun demikian, penelitian sampai saat diproduksi tidak konsisten
dan hasil yang kurang jelas menurut Gennaro40, yang
akibatnya, menyadari studi longitudinal. Dia diperiksa
41 ibu dari pre-istilah bayi (berat lahir antara
1.000 dan 2.500 g) dan 41 ibu penuh panjang
bayi (berat lahir lebih dari 2.500 g) dalam langsung
periode postpartum (1 minggu) dan dari waktu ke waktu (pertama
7 postpartum minggu) menggunakan Negara Trait Anxiety Inventarisasi
(STAI) dan kata sifat Depresi Periksa
Daftar (DACL). Hasil penelitian menunjukkan ibu dini
bayi telah meningkatkan kecemasan dan depresi pada
postpartum minggu pertama daripada ibu dari kelompok kontrol.
Namun, perbedaan ini hilang selama kedua
ke postpartum minggu ketujuh dan masih ibu
tidak mengalami perbedaan kecemasan dan depresi
berdasarkan tingkat penyakit bayi mereka. Di
Kasus tindak lanjut yang lain, Lambrenos et al.41 diselidiki
depresi pada ibu 96: 30 bayi prematur
risiko untuk pengembangan cerebral palsy, 35 prematur
bayi dianggap tidak beresiko untuk mengembangkan
cerebral palsy dan 31 bayi penuh panjang sehat.
Mereka menemukan tingkat yang sama tinggi depresi pada
ketiga kelompok ibu sepanjang tahun pertama
kehidupan anak-anak.
Kami mengamati bahwa peneliti berkonsentrasi upaya mereka
pada menilai prevalensi depresi, kecemasan
dan gangguan emosional dini bayi baru lahir
orang tua, terutama ibu, sehingga membatasi
analisis proses kontekstual merawat bayi
itu, selain aspek individu orang tua, juga
termasuk keuangan, sosial dan lingkungan
aspek seluruh keluarga. Selain itu, heterogenitas
dari studi tentang kelahiran anak
rentang berat, serta instrumen yang digunakan, batas
analisis hasil ditemukan.
Kami mengidentifikasi survei oleh Rivers et al.42 sebagai
studi pertama yang secara khusus dinilai, efek dari
VLBW baru lahir pada keluarga dan studi pertama mempertimbangkan
variabel lain selain individu orang tua '
aspek. Peneliti mewawancarai orang tua
140 Nutr Hosp. Nutr Hosp. 2007; 22 (2) :141-4 T. Konstantyner y cols.
VLBW bayi baru lahir dengan usia rata-rata 4,3 (tiga sampai
tujuh tahun) menyajikan kelainan neurologis
(17 otak kelumpuhan dan lima hidrosefali), orang tua
VLBW anak tanpa gejala sisa neurologis. Itu
perbandingan hasil menunjukkan bahwa biaya medis dengan
perawatan yang sering lebih tinggi untuk keluarga
anak-anak dengan kelainan neurologis daripada untuk
keluarga anak-anak normal, anak VLBW dengan
kelainan neurologis menuntut lebih rawat inap
setelah lahir daripada yang di kelompok normal
anak-anak, dan keluarga anak-anak dengan neurologis
kelainan terdaftar signifikan lebih stres
karena keraguan medis tidak dijelaskan bila dibandingkan
dengan kelompok kontrol (tabel I).
Brooten et al.43 kembali untuk fokus individu orang tua '
aspek dan diikuti 47 ibu VLBW bayi baru lahir,
menggunakan The Multiple Mempengaruhi Adjektiva Checklist44. Mereka
menemukan bahwa ibu-ibu ini secara signifikan lebih cemas
dan tertekan sebelum bayi mereka dipulangkan
dari rumah sakit daripada ketika bayi adalah 9
bulan. Namun, Lee et al.45 menggunakan skala untuk mengukur
dampak pada family46 ketika membandingkan informasi
dipasok oleh tiga kelompok VLBW baru lahir
bayi baru lahir orang tua dengan perkembangan quotient (DQ)
diukur dengan Griffiths Mental Pengembangan Timbangan: 1)
DQ kurang dari 80; 2) DQ lebih dari 80, dan 3) yang normal
berat lahir oleh anak-anak saat disajikan rata-rata
usia 36,5 bulan (12 sampai 72 bulan), menunjukkan bahwa
orang tua dalam 1) disajikan tidak berdampak lebih buruk jika dibandingkan
3), namun orang-orang di 2) disajikan lebih positif
Dampak (skor kurang) dari dua kelompok lainnya.
Cronin et al.47, menggunakan skala yang sama untuk mengukur
dampak pada family45, keluarga dibandingkan dari VLBW
bayi baru lahir dengan berat lahir keluarga bayi yang baru lahir yang normal
(Usia antara satu dan lima tahun) dan menemukan signifikan
perbedaan dalam skor untuk semua item dampak
(Ekonomi, sosial, kekeluargaan dan individual) menunjukkan
bahwa keluarga VLBW bayi baru lahir, terutama mereka
dengan rendah DQ diukur dengan Gesell Pengembangan Scales48
menderita dampak yang lebih negatif (skor yang lebih tinggi) dibandingkan
keluarga pada kelompok kontrol.
Collins et al.49, menggunakan kuesioner terstruktur,
membandingkan dua kelompok ibu Afro-Amerika
(VLBW bayi yang baru lahir dan bayi baru lahir berat badan normal) dan
diidentifikasi bahwa ibu dari bayi yang baru lahir VLBW disajikan
Peristiwa lebih stres dan dinyatakan tidak menguntungkan
persepsi keseluruhan dari lingkungan tempat tinggal mereka.
Selanjutnya, penelitian kembali untuk fokus individu orang tua '
aspek, tapi tetap referensi VLBW
bayi. Singer et al.50 membandingkan tiga kelompok ibu
dengan bayi yang baru lahir di bulan pertama kehidupan (VLBW
bayi baru lahir dengan bronchopulmonar dysplasia (BPD);
tanpa BPD dan berat lahir normal) dan menemukan lebih
tekanan psikologis pada ibu dari 2 pertama
kelompok dibandingkan dengan ibu dari bayi baru lahir berat lahir normal.
Dalam cara yang sama, Halpern et al.51 dan Ong et al.52
menemukan prevalensi lebih tinggi dari stres ibu dalam keluarga
dari VLBW bayi bila dibandingkan dengan keluarga
bayi yang baru lahir berat lahir normal, masing-masing pada 9
bulan dan pada tahun keempat kehidupan anak-anak mereka.
Taylor et al.53 dibandingkan 3 kelompok orang tua (keluarga
bayi baru lahir dengan berat lahir kurang dari 750 g;
dengan berat lahir antara 750 sampai 1.499 g dan dengan
berat lahir normal) dan menemukan bahwa keluarga para
Kelompok pertama yang disajikan lebih stres dalam kaitannya dengan kontrol
kelompok dan bayi baru lahir dengan resiko neonatal lebih besar
disajikan dampak yang negatif terhadap keluarga mereka.
Pada tahun yang sama, Prindham et al.54 mempelajari ibu
bayi baru lahir dengan BPD dan tanpa BPD dan dengan yang normal
berat lahir, dan menemukan lebih banyak gejala ibu
depresi dalam keluarga VLBW bayi baru lahir dengan
BPD dibandingkan dengan dua kelompok lainnya.
Baru-baru ini, Kersting et al.55, dalam prospektif membujur
studi membandingkan respon stres pasca trauma
dari 50 ibu setelah kelahiran bayi dengan VLBW
30 ibu dari bayi cukup bulan yang sehat, di empat pengukuran
titik waktu (1-3 hari postpartum, 14 hari postpartum
dan 6 e 14 bulan pascapersalinan) menggunakan Dampak
Skala Kegiatan (IES-R), instrumen psikometrik
(Structured Clinical Interview untuk DSM-IV, SCID-I),
Kembali Depression Inventory (BDI), Montgomery Asberg
Depresi Scale (MADRS), Negara-Trait Anxiety
Inventory (STAI) dan Hamilton Anxiety Scale (HAMA).
Di keempat titik waktu pengukuran (kecuali 6
bulan setelah melahirkan), ibu dari bayi VLBW direkam
nilai signifikan lebih tinggi untuk pengalaman traumatik
dan gejala depresi dan kecemasan dibandingkan
dengan kontrol. Berbeda dengan ibu-ibu di
kelompok kontrol, para ibu dari bayi VLBW menunjukkan
tidak ada penurunan yang signifikan dalam gejala posttraumatic
(IES-total), bahkan 14 bulan setelah kelahiran.
Padovani et al.56, dalam sebuah penelitian di Brazil dinilai 43
ibu dari bayi VLBW tanpa latar belakang kejiwaan
menggunakan STAI dan BDI dalam dua momen: selama
rawat inap bayi dan setelah debit. Setelah
debit bayi, jumlah ibu dengan klinis
tingkat gejala emosional menurun secara signifikan
dibandingkan dengan penilaian pertama. Kecemasan-negara
tingkat penurunan signifikan dari pertama ke kedua
penilaian. Tidak ada perbedaan dalam depresi dan dysphoria
gejala antara dua penilaian yang ditemukan.
Kami juga menemukan penelitian yang menilai dampak pada
keluarga, lebih khusus, terhadap kelangsungan hidup bayi yang baru lahir
dengan berat lahir sangat rendah (bobot elbow-kelahiran
kurang dari 1.000 g). Stjernqvist57 mewawancarai orang tua
Elbow, menemukan krisis lebih reaksional pada ibu daripada
di ayah dan menyatakan bahwa orang tua dari bayi yang baru lahir tersebut dilaporkan
stres lebih selama tahun pertama kehidupan anak,
apa yang menyebabkan lebih banyak ketegangan dalam hubungan perkawinan ketika
dibandingkan dengan kelompok kontrol yang terdiri dari ayah
bayi baru lahir dengan berat badan normal, namun sama
Studi ini mengidentifikasi ada hubungan antara saraf permanen
gangguan di masa kecil dan reaksi keras
oleh anggota keluarga (tabel II).
Namun demikian, Saigal et al.58 dibandingkan keluarga
Elbow bayi baru lahir dengan keluarga pra-istilah bayi